Bahtsul Masail

Hukum Rambut Rontok saat Junub

Kalau mau bersih, mandi tentu pakai air dan sabun. Air harus dibeli. Ini tidak harus. Tetapi bagi sejumlah penduduk, air harus dibeli. Urusan sabun ini mutlak harus dibeli. Meskipun yang mewarung itu tetangga baik kenal maupun tidak, sabun tetap harus dibayar baik kontan maupun hutang.

Demikian persiapan mandi. Setidaknya demikian disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Adapun hukum mandi menurut syar‘i terbagi dua. Wajib dan sunah. Sunah bilamana mandi itu diniatkan untuk menghadiri sembahyang Jum‘at, istisqa, sembahyang gerhana, usai memandikan jenazah, wukuf, thawaf, atau masuk kota Mekkah.

Sementara mandi wajib diperuntukkan bagi mereka yang dalam keadaan junub karena keluar mani sebab jimak atau lainnya, usai haid, atau nifas.

Baik mandi wajib atau sunah, seseorang harus niat mandi wajib atau mandi sunahnya di awal basuhan. Persoalan niat ini sebuah kewajiban. Berikutnya meratakan tubuh dengan air. Segala permukaan dan lipatan di tubuh mesti secara rata terbasuh air baik berbentuk bulu, kuku, maupun kulit. Perataan air ini tidak terkait sama sekali dengan sabun. Yang penting rata dengan air.

Bagaimana kalau sejumlah bagian itu terlepas seperti rambut rontok, kuku yang terpotong, amputasi beberapa bagian tubuh? Apakah bagian yang terlepas wajib dibasuh? Imam Nawawi dalam kitab Raudlatut Thalibin wa Umdatul Muftiyin mengatakan seperti di bawah ini.

ولو غسل بدنه إلا شعرة أو شعرات ثم نتفها، قال الماوردي: إن كان الماء وصل أصلها، أجزأه، وإلا لزمه إيصاله إليه. وفي فتاوى ابن الصباغ: يجب غسل ما ظهر، وهو الأصح. وفي البيان وجهان. أحدهما يجب. والثاني لا، لفوات ما يجب غسله، كمن توضأ وترك رجله فقطعت. والله أعلم.

“Andaikan seseorang membasuh seluruh badannya kecuali sehelai atau beberapa helai rambut (bulu) kemudian ia mencabutnya, maka Imam Mawardi berpendapat, 'Jika air dapat sampai ke akar helai itu, maka memadailah. Tetapi jika tidak, maka ia wajib menyampaikan air ke dasar bulu itu.' Sedangkan fatwa Ibnu Shobagh menyebutkan, 'Wajib membasuh bagian yang tampak saja.' Pendapat ini lebih sahih. Sementara kitab Albayan menyebut dua pendapat. Pertama, wajib (membasuh bagian tubuh yang terlepas-pen). Kedua, tidak wajib. Karena, telah luput bagian yang wajib dibasuh. Ini sama halnya dengan orang yang berwudhu tetapi tidak membasuh kakinya, lalu diamputasi.”

Jadi seseorang yang junub tidak perlu berpikir meskipun sekali untuk menyisir rambut karena takut rontok, memotong kuku, atau membersihkan bulu lainnya. Ia pun tidak perlu mengumpulkan rambut rontok dan potongan kukunya untuk dimandikan wajib bersama. Tetapi ada baiknya kalau ia menyisir atau memotong rambut, dan menggunting kuku setelah mandi wajib. Wallahu A’lam
Menginjak Bekas Bakaran Mushaf Al Quran
Biasanya rumah orang muslim selalu dihiasi dengan al-Quran yang memenuhi lemari-lemari ruangan yang ada. Dari sekian banyak mushaf tersebut ada yang telah bertahun-tahun tidak dipegang, ataupun dibersihkan, sehingga mengakibatkan kerusakan pada lembaran-lembarannya. Bisa sobek, dimakan rayap, lapuk ataupun sebab lain.
Sebagai sesuatu yang bersifat suci dan mulia, sebaiknya mushaf senantiasa dijaga dan dirawat dengan baik, walaupun itu sudah dalam keadaan rusak dan robek akibat termakan zaman.  Guna menjaga kehormatan serpihan mushaf yang berupa sobekan-sobekan kecil itu, sebaiknya segera saja membakarnya dan membeli mushaf yang baru lagi. Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimanakah hukum menginjak bekas bakaran Mushaf al-Quran tersebut ?
Jika memang benar-benar tahu bahwa bekas bakaran tersebut adalah mushaf Al Quran, maka tidak boleh menginjaknya dengan maksud pengingkaran atau penghinaan, tetapi jika tidak ada maksud mengingkari ataupun menghina, maka perbuatan tersebut tidak apa-apa, karena bekas bakaran mushaf Al Quran tersebut bukanlah disebut Mushaf lagi dan telah berubah status, wujud dan sifatnya
إذا عرف أن ذلك التراب أو الرماد هو رماد المصحف فلا يجوز له أن يطأه على وجه الإمتهان أو العناد
Jika telah diketahui bahwa abu atau bekas bakaran tersebut adalah mushaf, maka tidak boleh menginjaknya dengan maksud ingkar atau menghina.

وأما إذا لم يكن قاصد للإمتهان ولا معاندا فإن ذلك لا يكون حراما، لأنه قد خرج عن كونه قرآنا وتبدلت ذاته وصفته وشكله وهيئته

Sedangkan jika orang tersebut tidak ada maksud ingkar atau menghina, maka tidak apa-apa karena bekas bakaran mushaf Al Quran tersebut bukanlah disebut Mushaf lagi dan telah berubah status, wujud dan sifatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar