Pengajian Pertama- Tauhid Wahdatul
Ummah
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Fa-i-dza qoro’tal-Qur’aana fasta’idz billaahi
minasy-syaithoonirjiem” : “Apabila kamu membaca Al-Qur’an hendaklah kamu
meminta perlindungan kepada Allah dari Syaitan yang terkutuk”; (An-Nahl : 98).
Yaitu kalimat : “A’udubillahi
minasy-syatithonirrojiem” : “Aku berlindung kepada Allah dari segala godaan
syaitan yang terkutuk.
Satu kalimat pembuka Al-Qur’anul Kariem tersebut bukan
basa basi biasa, namun mengandung makna yang penting dan mendasar.
Syaitan bukan sesuatu yang tidak dapat diidentifikasi
secara kongkret sejauh logika dan pemikiran. Untuk sementara saya
mengesampingkan eksistensi makhluk halus atau hantu. Melainkan lebih
mengutamakan aspek psikologis manusia.
Syaitan sudah inheren dalam konstitusi manusia sebagai
disposisi fisiologis dan pskologis sejak homo sapiens ini mendapatkan kehidupan
dari aksi tenaga kosmik dari konstansi an-organik dari Allah Azza wa Jalla.
Syaitan dalam arti psikologis merupakan rejim instinktif yang mendasarkan berfungsinya
dengan pleasure principle atau prinsip kenikmatan. Sigmund Freud
menyebutnya dengan istilah das Es atau id.
Das Es adalah sumber hawa nafsu, merupakan kumpulan
destruksi nilai yang hanya mengejar kesenangan belaka. Dari posisi das Es atau
id itulah segala khayalan dan keinginan tentang kenikmatan organisme dibentuk.
Dari posisi das Es itulah tragedi buah kuldi terjadi, tragedy Habil dan Qobil
atau Habil dan Kain dalam versi Taurat terjadi. Dan sesungguhnya segala dosa
dunia bersumber dari das Es itu. Ultra materialisme dan atheisme atau
berhalaisme yang menjadikan duniawi sebagai tujuan akhir juga bersumber dari
das Es.
Impuls instinktif yang terpenting dari das Es ialah
impuls Stomach dan Sexual, yaitu dorongan rasa lapar dan dorongan
ingin bersenggama. Yang paling berbahaya ialah impuls agresif yang sesungguhnya
merupakan instink mati yang cenderung kepada kerusakan dan kehancuran. Pada
posisi das Es sesungguhnya stuktur biologi dan mental manusia sama dengan
binatang.
Impuls Stomach menjadi akar segala perilaku ketamakan,
dan impuls Sexual menjadi akar segala perilaku pemuasan hawa nafsu. Impuls
Agresif sangat misterius, segala kecenderungan kepada pengrusakan dan
penghancuran apa saja termasuk segala bentuk kerakusan dan kekerasan bersumber
dari impuls agresitas ini. Jika impuls stomach dan seksual termasuk dalam
kategori instink-instink hidup, maka impuls agresif berasal dari
instink-instink mati.
Dengan menyebut audzublillahiminassyaithonirrojiem,
artinya kita mewaspadai semua impuls instintiktif das Es. Mewaspadai bagian
dari kebinatangan kepribadian kita sendiri. Mewaspadai diri kedalam, mengenali
dorongan-dorongan impulsive yang menempatkan derajat manusia sama dengan
binatang. Dengan demikian kita memasuki Al-Qur’an dengan kondisi psikologis
yang terbebas dari kekuasaan rejim instinktif yang syaithoniyah.
Didalam diri manusia juga terdapat energi-psikis yang
menghidupi dorongan moralistis, yang disebut oleh Freud dengan istilah das
Ueber Ich atau super ego. Dalam berfungsinya das Ueber Ich berpijak pada moral
principle atau prinsip moralitas. Das Ueber Ich berisi struktur nilai
kebudayaan, termasuk religi dan tradisi-tradisi yang bertujuan membangun mental
manusia (mental development) kearah kesempurnaan.
Das Ueber Ich merupakan lawan das Es. Didalam das
Ueber Ich segala potensi spiritual dikembangkan. Das ueber Ich orang Islam
tentu berisi struktur nilai ajaran, budaya dan tradisi Islam yang merupakan
isi-isi kesadaran dan ketidaksadaran, baik individu maupun kolektif.
Ketika kita menyebut Bismillahirrahmanirrahiem,
sebagai ayat pertama pembuka Al-Qur’an, jiwa kita berada pada posisi das Ueber
Ich. Basmalah memijakkan kepribadian kita kepada nilai-nilai moralitas dari
struktur religi yang kita anut yaitu Islam dalam arti sepenuhnya sesuai dengan
isi-isi kesadaran dan ketidaksadaran yang kita miliki.
Suatu anjuran moralitas dengan agresitas menunjukkan
adanya korupsi energi das Ueber Ich oleh das Es. Artinya terjadi
ketidakseimbangan das Ich atau ego sebagai fungsi eksekutif kepribadian
yang mengintegrasikan fungsi-fungsi das
Es dan das Ueber Ich. Atau selalu terjadi dorong mendorong dan saling
mempengaruhi dan berusaha mendominasi antara das Es dan das Ueber Ich, untuk
mengusai das Ich yang merupakan sentral kepribadian.
Jika dominasi energi instink lebih cenderung kepada
das Es maka perilaku seseorang lebih didorong oleh hawa nafsunya. Sebaliknya
jika energri psikis lebih didominasi das Ueber Ich perilaku seseorang lebih
didorong oleh moralnya. Adalah das Ich atau ego yang merupakan struktur
kognitif bermotif yang selalu berusaha
memusatkan energi instink pada dirinya agar tercapai keseimbangan kognitif yang
memberinya kecakapan untuk mengintegrasikan fungsi-fungsi jiwa tersebut dan
mengarahkannya pada alam realistis dengan perilaku yang terkendali dan kreatif.
Dalam berfungsinya das Ich berpegang pada prinsip realitas (reality-principle).
Dorongan-dorongan das Es disebut cathexis dan
dorongan-dorongan das Ueber Ich dan das Ich disebut anti-cathexis. Dari proses
ini manakala timbul dorongan instinktif das Es berupa perilaku primitif yang
ditolak masyarakat, maka das Ich akan berorientasi kepada struktur nilai das
Ueber Ich dan membentuk cathexis substitusi untuk melakukan penggantian obyek,
sehingga ungkapan instinktif yang primitif dapat diubah menjadi ungkapan yang
dapat diterima masyarakat. Inilah yang dimaksud dengan proses sublimasi yang
menjadi salah satu sumber kreativitas manusia dan kebudayaan manusia.
Kemana sublimasi jiwa seorang Muslim, karena ia tidak
hanya memerlukan transferabilitas progresif dengan diferensiasi nilai-nilai
kebudayaan namun lebih dari itu dia memerlukan diferensiasi nilai-nilai
ketuhanan. Bagi seorang muslim akseptasi nilai-nilai sosial adalah dalam rangka
nilai tertinggi yaitu keridhoan Allah yang Tunggal yang Tauhid sebagai faktor
monotehisme yang menjadi sentral tatanan organis dan an-organis serta tatanan agnostic
dan transcendental. Dengan kata lain landasan cathexis substitutif
das Ich adalah Iman Tauhid, yang akan tercermin dalam perilaku dan proses
mental seorang Muslim. Insya Allah.
Dengan uraian ringkas ini, sekaligus saya buka
pengajian Tauhid Wahdatul-Ummah yang pertama di plaza Suzuki Cibubur ini.
Sekian, Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih.
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 17 Juni 2004,
K.H. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional
Pengajian Kedua- Tauhid Wahdatul
Ummah
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Fa-idza qoro’tal qur’aani, fasta’idz billaahi
minasysyaithonirrojiem” : “Apabila kamu membaca Al-Qur’an hendaklah kamu
meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk”; (An-Nahl : 98).
Pada Pengajian Pertama kita telah membahas taawudz dan
basmalah. Pada Pengajian Kedua ini kita masih akan melanjutkan pembahasan
taawudz dan basmalah itu.
Pada Pengajian Pertama kita telah mengidentifikasi
keberadaan syaitan melalui mekanisme dalam diri kita sendiri dengan pendekatan
psikologis, sebagai upaya untuk melihat diri sendiri, mengenali sumber-suber
hawa nafsu sendiri yang lahir dari dorongan rejim instinktif. Pemikiran ini
kita perlukan agar kita benar-benar memahami makna taawudz.
Ketika pulang dari perang Badar dengan kemenangan yang
gemilang Rasulullah SAW bersabda : “Kita baru saja selesai dengan jihad kecil,
setelah ini kita akan segera memasuki jihad besar, yaitu perang melawan hawa
nafsu”.
Pemahaman terhadap sumber-sumber hawa nafsu dalam diri
sendiri yang tengah kita lakukan sejak Pengajian Pertama hingga Pengajian Kedua
ini, dalam rangka kemanangan jihad akbar itu.
Pada Pengajian Petama kita telah belajar tentang tiga
aspek kepribadian yaitu das Es, das Ich dan das Ueber Ich, atau aspek-aspek
biologis, psikologis dan sosiologis dari kepribadian, yang memiliki fungsinya
masing-masing tetapi terintegrasi dalam satu organisasi kepribadian. Seluruh
perilaku manusia bersumber dari dinamika ketiga sistim kepribadian itu. Kita
masih akan melanjutkan pendalaman taawudz dan jihad akbar, dengan terus
mendalami dan mempelajari diri kita sendiri.
Organ-organ Jiwa.
Dalam diri manusia terdapat organ-organ jiwa, salah
satu diantaranya ialah bayang-bayang archeytipus. CG. Jung mengatakan : “Jika
“aku” adalah pusat kesadaran, maka “archeytipus” adalah pusat
ketidaksadaran”. Nah diantara isi-isi archeytipus adalah “bayang-bayang” yang
merupakan naluri kegelapan manusia. Dari organ jiwa inilah sesungguhnya segala
kejahatan manusia dimulai. Artinya bahwa sumber kejahatan bersifat
intra-organis yakni dari dalam diri kita sendiri, bukan bersumber dari faktor
ekstra organis yang sifatnya hanya stimulus.
Bayang-bayang archeytipus merupakan unsur
ketidaksadaran kolektif yang ada dalam diri seluruh jenis manusia, merupakan
kecenderungan kegelapan manusia. Bayang-bayang archeytipus merupakan pecahan
kepribadian yang tidak terikat pada individu, terbentuk dari fungsi dan sikap
jiwa inferior, yang karena pertimbangan-pertimbangan moral dimasukkan kedalam
ketidaksadaran., karena tidak serasi dengan kehidupan sadar. Dari sifatnya maka
bayang-bayang archeytipus merupakan unsur das Es.
Audzubillahiminassyaithonirrojim, artinya kita
mewaspadai bayang-bayang archeytipus yang ada dalam diri kita, yaitu segala
sumber kejahatan yang obyek aslinya ada dalam ketidaksadaran dan mempengaruhi
kesadaran. Audzubillahiminassyaithonirrojim artinya kita mempertahankan kontrol
kesadaran kita, dan tidak membiarkannya merosot dibawah pengaruh ketidaksaran
bayang-bayang archeytipus. Sungguh syaitan memang telah ada dalam konstitusi
manusia sejak pertama kali diciptakan.
Namun demikian agar manusia dapat menemukan dirinya,
Allah memberikan pula perangkat jiwa yang oleh Jung disebut transcendent
function, yang memiliki kemampuan untuk mengolah dan mempersatukan segala
kecenderungan konflik menjadi kesatuan yang ideal, seperti suami-istri yang
kadangkala bertengkar, tetapi selalu kembali rukun, saling mencari dan saling
membutuhkan. Dari posisi inilah terbentuk kasih-sayang antar manusia yang
bersifat estetis, atau “hablun minannas”.
Individuasi.
Disamping itu dalam mekanisme ketidaksadaran manusia
terdapat proses individuasi, yaitu kecenderungan menuju penyempurnaan
diri. Terdapat empat tahap individuasi, yaitu :
a. Membuat sadar fungsi-fungsi pokok serta sikap jiwa
yang ada dalam ketidaksaran termasuk yang bersisi tentang naluri-naluri
kegelapan, agar tegangan dalam batin berkurang dan kemampuan untuk mengadakan
orientasi dan penyesuaian diri ke alam sadar meningkat.
b. Membuat sadar imago-imago atau kelemahan-kelemahan
diri yang diproyeksikan kepada orang lain. Ini akan menghilangkan segala rasa
benci dalam diri, baik benci diri maupun benci orang lain.
c. Menginsyafi bahwa manusia hidup dalam tegangan
kompensatoris, baik rohaniah maupun jasmaniah, dan manusia harus tabah
mengadapi hal ini dan harus dapat mengatasinya.
d. Adanya hubungan yang selaras antara kesadaran dan
ketidaksadaran, artinya antara segala aspek kepribadian yang ditimbulkan oleh
titik konsentasi umum, yaitu Diri atau Self. Diri hendaknya
menjadi titik pusat kepribadian, menerangi, menghubungkan serta
mengkordinasikan seluruh aspek kepribadian. Inilah landasan psyche
manusia integral atau manusia sempurna. Dari landasan inilah kita mengucap ayat
pertama Al-Fatihah, Bismillahirrahmanirrahiem. Artinya basmalah sebagai
kualitas representasi mental kita sendiri dalam menghubungkan diri dengan
personalitas transendental, ialah Allah Azza wa Jalla (hablun minallah).
Kemanakah perjalanan jiwa seorang Muslim ?
Minadzzulumati ilannuur. Dari kegelapan kepada Cahaya yang Terang. Dari
bayang-bayang archeytipus kepada transcendent function dan proses individuasi.
Dari kecenderungan kegelapan dan konflik kepada Diri yang mempersatukan,
menerangi dan integral.
Dengan demikian, maka kita tidak termasuk dalam
golongan orang-orang yang disebut dalam surat al-Baqarah ayat 8 : “Diantara
manusia ada yang berkata bahwa kami beriman kepada Allah dan Hari Akherat,
padahal sesungguhnya mereka itu tidak beriman” (Wa minannaasi manyyaqulu amanna
billahi wabil-yaumil-akhir, wa maahum bi mu’minien”).
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Salibih.
Jakarta, 18 Juni 2004,
Pengasuh,
KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan
Nasional.
Pengajian Ketiga - Tauhid Wahdatul Ummah
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Fa-idza qoro’tal-Qur’ani, fasta’idz billahi
minasysyaithonirrojiem” : “Apabila kamu membaca Al-Qur’an hendaklah kamu
meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk”; (An-Nachl : 98).
Adapun tentang bacaan “Bismillahirrochmanirrochiem”,
para ‘ulama’ sepakat sebagai pemisah setiap surat dan sebagian berpandangan
juga sebagai ayat pertama Al-Fatihah.
Kita masih membahas topik yang sama dengan dua
pengajian sebelumnya, yaitu taawudz dan basmalah.
Jika dalam dua pengajian terdahulu kita mencari
syaitan dalam diri sendiri dengan pendekatan psikologis, maka pada pengajian
ketiga ini kita akan mengobservasi keberadaan syaitan sebagai faktor obyektif
yang independen dan bersifat ekstra organis, dengan pendekatan antropologis.
Untuk itu kita akan menelusuri historiografi manusia dalam berinteraksi dengan
faktor supra-natural.
Agama Wu.
Pada tahun 2953 SM di Tiongkok muncul seorang kuat
yang bernama Hok Hi sebagai pemimpin manusia didaratan Tiongkok waktu
itu. Pada masa Raja Hok Hi inilah manusia mulai belajar menjinakkan binatang
buas, untuk dimanfaatkan bagi kepentingan manusia, baik untuk kepentingan
mengolah lahan pertanianan, untuk kepentingan transportasi, maupun untuk
konsumsi (makanan). Artinya inilah permulaan peradaban binatang ternak,
sebelumnya seluruh binatang adalah buas.
Bahkan baru pada masa Hok Hi inilah manusia mulai
mengenal lembaga perkawinan yang pertama dan hidup berumah tangga. Sebelumnya
mereka hanya mengenal ibu kandung sebagai keluarga. Juga pertama kali manusia
mengenal alat musik dawai seperti Khim (siter Tiongkok). Sebelumnya mereka
hanya mengenal perkusi yang sederhana, seperti tetabuhan dari kayu dan bambu.
Agama yang dianut secara luas pada waktu itu adalah
agama Wu atau Chenayangisme dan penyembahan alam atau pantheisme (tuhan
berada dalam segala-galanya), yang bertalian pula dengan animisme
(segala-galanya hidup) dan politheisme (banyak tuhan). Agama Wu membentuk
tokoh-tokoh historikal semu yang ditemukan para pendeta Wu dalam petualangannya
ke alam hantu dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial.
Agama Wu dapat dikategorikan sebagai agama penyembah
berhala, memiliki ciri sangat menghargai aspek fisiologis seperti tubuh
jasmaniah yang diupayakan untuk mencapai keabadian fisik secara harfiah.
Kepercayaan Wu atau Shamanisme melibatkan pengembaraan
roh aktif, seperti menemukan Pulau Orang-orang Yang Diberkati sebelum ajal,
atau menemukan obat mujarab yang akan memberikan kehidupan fisik yang abadi,
atau paling tidak usia yang sangat panjang dan fisik yang sangat kuat atau
sakti. Dalam hal ini diyakini bahwa praktek agama Wu memperoleh kekuatan dari
dunia makhluk halus atau hantu yang hadir berdampingan dan membentuk jalinan
dengan kehidupan manusia sehari-hari.
Dunia makhluk halus ini berfungsi pula sebagai
reservoir energi semacam gardu pembangkit tenaga yang dapat dimanfaatkan
seseorang untuk meningkatkan kesehatan, kekuatan fisik dan umur panjang.
Proses evolusi.
Dari sudut pandang monotheis kita dapat mengkategorikan
Agama Wu atau Chenayangisme sebagai bentuk penyembahan kepada roh halus, dalam
arti ekstra organis, sebagai faktor obyektif yang keberadaannya dapat
dibuktikan menurut hukum-hukum organis
dan an-organis. Kita yang hidup pada zaman ini dan memahami makna transendental
dengan baik, sesungguhnya merupakan bagian dari hasil evolusi psikofisik
manusia sejak zaman Hok Hi itu.
Kita dapat saja menuduh agama Wu adalah kepercayaan
sesat. Tetapi jika kita memahami makna antropologis pada zaman 30 abad sebelum
masehi itu, maka bentuk kepercayaan seperti agama Wu merupakan bagian dari
proses manusia mencari sumber kekuatan hakekat kehidupan ini yang membentuk
sesi-sesi peradaban dalam proses evolusioner untuk mencapai struktur psikologi
seperti yang kita miliki sekarang.
Evolusi itu mulai dari pengenalan faktor supra natural
dan takhayul yang kemudian membentuk agama-agama bumi, agnostisisme yang
menjadi landasan falsafah sosial dan iptek, hingga transendental yang menjadi
landasan spiritualisme agama-agama samawi. Ketiga faktor fundamental Itu masih
terus hidup hingga masa sekarang ini. Dalam berbagai dimensinya manusia modern
ternyata tetap terikat dengan nilai-nilai takhayul, agnostik dan transenden.
Semoga Allah mengampuni generasi Hok Hi dan kita
semua. Maka dengan mengucap Audzubillahi Minassyaithonirrojiem, kiranya kita
tidak akan kembali kezaman kegelapan itu dan memanifestasikan penyembahan
berhala dalam bentuk modern berupa segala upaya pengabadian fisiologis dengan
derivat instink segala bentuk kesenangan
duniawi tanpa batas. Itu berarti kita kembali ke zaman 30 abad sebelum masehi
dimana mentalitas manusia masih dikuasi rejim instinktif das Es dengan segala
ungkapan primitifnya.
Rasulullah SAW.
Berbagai bentuk pemujaan terhadap roh-halus pada
dasarnya merupakan pencarian sumber energi hakekat kehidupan. Setelah hampir
3500 tahun muncullah kesadaran manusia dari pengalaman dan pencarian yang
panjang itu. Adalah Rasulullah Muhammad SAW yang hidup pada abad ke 6 mengajar
manusia tentang energi tunggal yang menjadi pusat seluruh tatanan organis dan
an-organis; yang menjadi pusat idealitas melampaui segala kontemplasi dan harmonisme
kosmik; yaitu idealitas sempurna yang bersifat transendental yang menjadi inti
energi seluruh dinamika organis dan konstansi an-organis; seluruh dinamika
agnostic dan konstansi transcendental; di dalam dan di luar ruang dan waktu; di
dalam dan di luar logika causalitas; dengan personalitas yang jelas yang
disebut Allah dengan atribut idealitas transenden yang definitif yang disebut Ar-Rahman dan
Ar-Rahiem dengan semua spektrumnya (QS, Al-Fatihan; Ayat 3).
Rasulullah Muhammad SAW adalah penemu tradisi
monotheis (Tauhid/ satu tuhan), dan telah memimpin revolusi monotehisme yang
terbesar di dunia, yang telah mengakhiri peradaban politheisme Room dan Parsi
kala itu, dan telah mempersembahkan kepada dunia deskripsi transendental yaitu
Al-Qur’an yang menjadi penuntun peradaban dan kebudayaan manusia.
Ketika kita
mengucapkan Bismillahirrahmanirrahiem, maka kita menyebut salah satu
idealitas transenden yang telah membentuk struktur nilai dalam totalitas psyche
kita. Maka basmalah dalam arti yang optimum merupakan representasi mental dan perilaku Tauhid seorang Muslim.
Dan itulah kunci pembuka Al-Qur’anul Kariem, manual bagi idealitas kehidupan,
ruang, waktu dan logika, serta idealitas imajiner yang tertinggi yaitu emansipasi
ruh diluar ruang, waktu dan logika, untuk mencapai penyatuan dengan Inti Ruh
Yang Tertinggi dan Tunggal ialah Allah Azza wa Jalla.
Sekian,
Birrahmatillahi Wabi’aunihi Fi Sabilih,
Jakarta, 1 Juli 2004,
KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar