Keabsahan shalat bergantung pada
terpenuhinya beberapa persyaratan. Satu di antaranya suci dari najis, baik
badan pakaian maupun tempat. Kesucian ini dituntut sebagai perwujudan sikap
ta’addub kepada Allah Swt. Dalam surat al-Mudattsir: 4 Ia berfirman:
Artinya: “Dan pakaianmu sucikanlah” (QS. Al-Mudattsir: 4)Pengertian
najis sebagai dijelaskan dalam al-Fiqh al-Manhaji adalah segala sesuatu yang
dianggap kotor yang bisa mencegah sahnya shalat (kullu mustaqzar yamna’us
shihhas shalat).
Berangkat dari definisi ini, tidak semua yang nampak kotor secara otomatis
dihukumi najis seperti debu. Dalam menentukan benda yang najis dan suci tidak
bisa dengan akal dan perasaan semata. Tetapi harus berpegang dengan dalil
naqli.
Para ulama sepakat (ijma’ atau
konsensus) bahwa darah termasuk barang najis. Pendapat tersebut didasarkan dari
Al-Quran surat Al-An’am. 145 sebagai berikut:
Artinya: “katakanlah, ‘Tiada aku peroleh dalam wahyu yang di wahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi. karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah…” (QS. Al-An,am:145) Selain darah, termasuk benda najis adalah urine, kotoran manusia atau hewan, bangkai dan lain-lain.
Artinya: “katakanlah, ‘Tiada aku peroleh dalam wahyu yang di wahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi. karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah…” (QS. Al-An,am:145) Selain darah, termasuk benda najis adalah urine, kotoran manusia atau hewan, bangkai dan lain-lain.
Seperti yang difahami bersama bahwa
salah satu karakteristik agama Islam adalah mudah untuk dilaksanakandan tidak
memberatkan (alyusr wa ’adamul haraj, al-samhah was sahlah). Karakteristik ini
juga terlihat pada masalah najis, kaitannya dengan kebersihan shalat.
Dengan alasan kesulitan dihindari (li
masyaqqatil ihtiraz), para ulama dalam kitab-kitab fiqih mengklasifikasikan
najis menjadi dua: yaitu najis yang diampuni atau dimaafkan (al-ma’fuw)
dan tidak diampuni (ghairul ma’fuw) najis kategori pertama tidak
mencegah sahnya shalat.
Darah, salah satu benda najis, ada
yang diampuni dan ada yang tidak diampuni. Dalam hal ini fuqaha secara
kuantitatif membagi darah menjadi dua: sedikit dan banyak. Darah dalam jumlah
sedikit dengan alasan susah dihindari diampuni oleh syara’.
Terdapat beberapa menyangkut ukuran
yang dipakai untuk menentukan banyak sedikitnya darah. Pendapat yang paling
kuat mengatakan bahwa masalah tersebut dikembalikan pada anggapan masyarakat
menganggap bahwa darah tersebut sedikit maka dihukumi sedikit, sebaliknya jika
menganggap banyak maka dihukum banyak.
Menurut pendapat ini juga, kadar najis yang sulit dihindari dianggap sedikit, sedangkan yang mudah untuk dihindari dihukumi banyak.
Menurut pendapat ini juga, kadar najis yang sulit dihindari dianggap sedikit, sedangkan yang mudah untuk dihindari dihukumi banyak.
Sebagian ulama lain membuat standar
yang jelas, misalnya satu hasta (adz-zhira’), satu tapak tangan,
seukuran kuku dan lain-lain. Jika melebihi ukuran kuku, menurut pendapat yang
disebut terakhir, termasuk kategori banyak. Kalau kurang berarti sedikit. Semua
pendapat ini boleh diikuti. (fathul jawad,13)
Darah yang berasal dari badan kita
sendiri akibat menderita luka bisul, atau penyakit kulit yang lain diampuni
meskipun jumlahnya banyak (Al-Iqna’.78), tetapi dengan tiga persyaratan.
Pertama, bukan karena ulah kita sendiri (tidak disengaja). Kedua, tidak melampaui
tempatnya, dalam artian tidak melewati anggota tubuh dimana luka tersebut
berada. Maksudnya, jika luka terdapat dalam betis sampai paha. Kalau luka di
tangan, tidak sampai ke pundak. Ketiga, darah tersebut tidak bercampur dengan
benda lain.
Karena diampuni, maka darah yang
keluar dari luka tidak mencegah sahnya shalat. Dan orang yang mempunyai luka
bisa melakukan shalat seperti pada umumnya.




Tidak ada komentar:
Posting Komentar